Hari Pendidikan, Hari Buku, dan berujung pada Hari
Kebangkitan Nasional pada bulan Mei ini adalah momen yang tepat untuk mendukung
kemajuan budaya literasi bangsa. Dimulai dari perhelatan beberapa pameran buku
yang telah lalu di Ibukota dan sekitarnya, semuanya menuai kesuksesan. Yang
menarik, salah satu diantaranya tercatat sebagai pameran buku terbesar dan
termurah di dunia versi Guiness Book of
record tahun 2011 dan berhasil menjual lebih dari tiga juta buku hanya
dalam waktu 12 hari![1].
Pameran-pameran buku tersebut sesungguhnya memiliki tujuan
utama yaitu, mendukung peningkatan minat baca masyarakat melalui penawaran
buku-buku berkualitas dengan harga murah. Seperti halnya beberapa negara di
Asia Tenggara lainnya, Indonesia memiliki masyarakat dengan minat baca yang
rendah. Pada tahun 2016, Indonesia menempati posisi ke-60 dari 61 negara yang
disurvei soal minat baca oleh suatu lembaga literasi internasional bertempat di
Amerika[2]. Tetangga
kita, Malaysia, berada pada posisi 53 dan Singapura pada posisi jauh
meninggalkan kita, 36! Kemudian, dalam lingkup yang lebih kecil, Dinas
Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Indramayu melaporkan temuan bahwa
rata-rata hanya enam orang yang memiliki minat baca di setiap desa di Kabupaten
Indramayu dari total penduduk 1,8 juta jiwa[3].
Kesuksesan pameran-pameran buku di Indonesia tersebut menjadi
gambaran bahwa masyarakat kita merindukan akses terhadap buku-buku berkualitas
sekaligus murah. Mungkin persoalan utama yang berkontribusi besar terhadap
rendahnya minat baca bangsa adalah akses terhadap bahan bacaan itu sendiri. Sulitnya
mendapatkan buku murah dan bermutu serta tidak meratanya distribusi buku ke
berbagai daerah di Indonesia menyebabkan masyarakat kita meninggalkan kebiasaan
mulia tersebut.
Kita perlu mengapresiasi berbagai upaya pemerintah pusat
maupun daerah dalam meningkatkan minat baca bangsa melalui Gerakan Literasi
Nasional (GLN). Diantaranya, pertemuan presiden Joko Widodo di Istana Negara
dengan lebih dari 35 pegiat literasi dari berbagai daerah[4]. Bantuan
berupa puluhan ribu buku yang disebar ke berbagai pelosok daerah. Rencana menggratiskan
pengiriman buku lewat PT POS pada hari tertentu[5]. Dan
pemerintah daerah yang tak mau ketinggalan, seperti yang dilakukan oleh Kabupaten
Bandung melalui ‘Sabilulungan Award’ bidang pendidikan yang diberikan kepada
Asep Suhendar sang penjual batagor seraya membawa buku dan Elis Ratna Suminar
yang bersama suaminya menciptakan perpustakaan Angkutan Kota (Angkot) keliling[6].
Sebagai seorang pendidik yang menyadari pentingnya kebangkitan
budaya literasi yang maju, maka sudah sepantasnya kita menjadi muara bagi
gerakan-gerakan keteladanan tersebut. Guru adalah orang yang paling mudah menularkan
kenikmatan membaca. Sesungguhnya tidak ada yang lebih penting yang dapat
diwariskan oleh seorang guru selain hasrat yang besar untuk membaca dan
menulis. Dengan budaya membaca dan menulis yang baik, siswa akan dapat
meningkatkan kualitas hidupnya serta menjadi bagian dari kemajuan masyarakat di
sekitarnya.***
[1]
Tempo.com diakses 8 Mei 2017
[2]
Pikiran-Rakyat.com, 17 Maret 2017. Koran Republika, 8 Mei 2017.
[3]
Koran Pikiran rakyat 28 April 2017.
[4]
Koran Kompas, 3 Mei 2017.
[5]
Koran Republika, 8 Mei 2017.
[6]
Koran Pikiran-Rakyat, 2 Mei 2017.
No comments:
Post a Comment