Beberapa
pekan lalu, penulis bersama guru-guru fisika dari berbagai daerah di Indonesia diundang
untuk mengikuti pelatihan ‘Active Learning
in Optics and Photonics 2017 (ALOP 2017)’ yang dilaksanakan oleh Center for Young Scientists (CYS)
bekerjasama dengan perusahaan penyedia media pembelajaran dan sebuah perguruan
tinggi di Bandung. ALOP diprakarsai dan disponsori oleh UNESCO, SPIE (The International Society for Optical
Engineering), dan ICTP (International
Center for Theoretical Physics)[1]. Dari
ALOP penulis mendapatkan pelajaran penting untuk menjadi pendidik abad 21.
Semenjak
dimulainya perseteruan antara ilmuwan besar seperti Newton, Hooke, dan Huygens
pada tahun 1672 mengenai watak cahaya[2], hingga
kini manusia senantiasa antusias mempelajari dan mengekplorasinya. Ilmu Optik
dan fotonik (partikel cahaya) adalah salah satu bidang yang sangat diperlukan.
Banyak bidang kehidupan modern yang tidak dapat dilepaskan dari teknologi
optik. Di antaranya adalah aplikasi telekomunikasi dan kesehatan. Kita mengenal
adanya LASER, serat optik, layar sentuh, hologram dan sebagainya. Kita juga
mengenal CT-Scan, MRI, dan berbagai alat pemindai penyakit lainnya.
Yang
menarik, ALOP tidak hanya melatih guru untuk mengajarkan optik dan fotonik
dengan cara yang asyik dan menyenangkan menggunakan metode PODS (Prediction, Observation, Discussion,
Synthesis). ALOP juga menyadarkan para guru untuk mendidik siswa agar memiliki
keterampilan abad 21 yakni berpikir kritis dan terbiasa melakukan penelitian. Keterampilan
tersebut sangatlah dibutuhkan siswa. Tak heran bila PISA (Program for International Students Assesment) menjadikan keduanya sebagai
standar indikator keberhasilan uji tesnya.
Negara-negara
dengan hasil tes teratas sejatinya telah lebih dahulu menerapkan metode
pengajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan meneliti para
siswanya. Ada STEM (Science, Technology,
Engineering, and Mathematics) di Amerika dan Eropa, STELR (Science and Technology Education Leveraging
Relevance) di Australia dan metode-metode Active Learning lainnya[3]. Indonesia
yang baru menyadari dan menerapkannya beberapa tahun ke belakang, wajarlah bila
posisi PISA kita belum begitu memuaskan.
Meskipun demikian kita harus tetap optimis. Hasil tes PISA siswa
Indonesia dalam sains semakin baik. Semenjak mengikuti tes tahun 2012 dengan 382 poin
menjadi 403 poin pada tahun 2015[4].
Kemudian,
di tengah maraknya penyebaran berita bohong dan isu-isu rasial yang mengancam
persatuan bangsa[5],
berpikir kritis adalah sebuah keterampilan yang dapat meminimalisir atau bahkan
menghilangkannya. Sedangkan keterampilan meneliti bertujuan agar siswa
senantiasa melakukan kajian secara intens dalam menanggapi suatu informasi atau
permasalahan sehingga menghasilkan pemikiran dan tindakan yang bijak dan sarat akan keilmuan.
‘PR’
besar ini sesungguhnya tidak hanya dibebankan kepada guru-guru fisika dan sains
pada umumnya, tetapi juga semua guru lainnya sebagai seorang pendidik abad 21.
Langkah efektif untuk menggapai sasaran besar tersebut adalah dengan konsisten melatih
diri menjadi contoh dalam berpikir kritis dan meneliti di sekolah maupun
kehidupan sehari-hari.***
No comments:
Post a Comment