Sebagian
orang mungkin tidak percaya, jika saya
mengatakan ada seseorang yang mendapatkan gelar
profesor sekaligus jabatan tertinggi dari sebuah universitas
ternama di dunia hanya dalam waktu empat tahun,
setelah dinyatakan lulus sarjana.
Orang tersebut adalah Isaac Newton,
salah satu
ilmuwan paling berpengaruh di dunia. Newton
mendapatkan posisi sebagai Professor Lucasian
dari Universitas Cambridge, Inggris pada usia 27
tahun!
Sebuah jabatan yang juga dipegang oleh fisikawan
ternama Stephen Hawking pada masa
berikutnya.
Hal
menarik dari Newton adalah, pencapaian tersebut ia raih berkat karya-karya
besarnya yang justru tidak dilahirkan saat ia berkerja dan
berkarya di lingkungan kampus. Namun saat ia berkarya dari rumahnya, di sebuah desa di Inggris,
saat negara tersebut harus lockdown.
Kala itu terjadi sebuah peristiwa besar di Inggris yang
dikenal sebagai The Black Death. Akhir tahun 1665 hingga 1666,
sekitar seratus ribu orang meninggal dunia di kota London.
Sebuah wabah besar akibat penyakit pes bubo (bakteri pestis yersinia) yang dibawa oleh kutu-kutu dari tikus-tikus got. Raja Charles II dan
kalangan istana melarikan diri ke Oxford. Sebagian besar dokter, pengacara,
pedagang dan kaum kaya berbondong-bondong meninggalkan London. Penduduk miskin
terpaksa bertahan sambil menyaksikan wabah mematikan itu menggerogoti
orang-orang terdekat mereka. Karena
semua universitas ditutup, Newton pulang ke desanya di Woolsthorpe,
Lincolnsire, sebuah desa yang jauh dari kota London setelah ia baru saja
dinyatakan lulus sarjana dari Universitas Cambridge.
Newton
adalah seorang ‘sizar’ sebutan bagi mahasiswa miskin dan
dianggap kasta paling hina di dalam universitas, kala itu.
Mereka melakukan pekerjaan seperti pesuruh dan pembantu mahasiswa-mahasiswa
lainnya. Di aula makan, sizar hanya boleh memakan makanan sisa. Selama kuliah
hingga lulus Newton diketahui memiliki nilai studi yang biasa-biasa. Justru
studi mandiri yang dilakukan di rumah pada masa lockdown tersebut yang membuatnya berhasil
menemukan dan mengembangkan teori–teori kalkulus, ilmu optika dan sumbangsih
yang membuat namanya abadi hingga kini: Hukum Gravitasi. (Rankin, 1993).
Dalam
kurun waktu dua tahun setelah wabah di London hilang akibat
kebakaran besar, Newton kembali ke Cambridge dengan membawa karya–karyanya
tersebut dan terpilih menjadi pengajar tetap di sana. Tidak perlu waktu lama,
setelah dua tahun mengabdi di Cambridge, Newton diangkat menjadi Profesor Lucasian, sebuah
jabatan tertinggi di Universitas Cambridge.
Kisah
Newton tersebut semestinya dapat menginspirasi kita bahwa
dengan bekerja dari rumah di tengah pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) yang
kini, tengah dialami negara-negara di dunia termasuk Indonesia, kita bisa
tetap berkarya. Bahkan bisa lebih baik hasilnya.
Penulis
pribadi mempercayainya, meski sebagian orang, mungkin
tidak sependapat dan
berpikir lain. “Itu Newton, sudah jenius dari sananya!, sedangkan kita?!” “Kita
nggak
perlu menghasilkan karya, untuk menghasilkan uang buat makan saja sudah cukup!”. Pemikiran
tersebut wajar sekali muncul. Namun, bukan itu harapan dari tulisan ini dibuat. Kita
memang bukan Newton, dan kita akan sangat sulit sekali menghasilkan karya revolusioner
yang sertara dengan karyanya.
Saya
akan lanjutkan kisahnya. Semenjak kecil hingga masa lockdown,
Newton masih tetap miskin. Jika ia hanya berpikir untuk perutnya
maka ia bisa dapat langsung bekerja dengan membawa ijazahnya. Mungkin pula berkerja
secara jarak jauh sama seperti kita. Ingat, ijazah yang dia bawa adalah ijazah
dari Cambridge kala itu. Tentu ada kemudahan tersendiri ketika Newton menjadi
salah satu alumninya. Tapi Newton tidak berfikir demikian. Ia lebih memilih
untuk mengembangkan minat dan rasa ingin tahunya yang selama ini belum
berkembang saat di kampus. Jika Anda membuka kembali biografinya, Newton
justru merasa sebal dan terkukung dengan kurikulum Aristotelian yang diterapkan
di Cambridge. Newton justru lebih mendalami pemikiran Galileo, Copernicus, dan
Descartes yang saat itu belum banyak pendukungnya.
Satu
lagi, Newton juga dikenal semenjak kecil sebagai orang yang eksploratif dan suka
membantu, selain sifat keras kepalanya yang melegenda. Saat remaja Ia banyak
membuat alat-alat ‘aneh’ meski untuk
sekedar membantu kerabatnya bekerja.
Melihat
kondisi kita saat ini, jutaan orang di seluruh dunia tinggal di rumah dan
menjaga jarak sosial untuk mengantisipasi penyebaran pandemi Covid-19. Bahkan,
banyak negara sudah memberlakukan pembatasan atau penutupan wilayah (lockdown)
untuk meminimalkan pergerakan warga. Pembatasan wilayah dan menjaga jarak
sosial, untuk sementara ini, dianggap solusi efektif untuk menekan laju
penyebaran virus.
Bekerja
dari rumah sesungguhnya menjadi tantangan tersendiri bagi para pekerja di usia
produktif. Konsep tersebut barangkali tidak dapat diterapkan sama rata untuk
semua orang, terlebih di negara kita. Beberapa orang mungkin tidak bisa bekerja
atau berkarya dengan baik tanpa ada pengawasan langsung dari atasannya (Tietze,
Nadin, 2011). Atau tidak bersama dengan rekan se-profesi. Jika kita terpaksa harus bekerja dari rumah, mungkin
beberapa kiat yang penulis rangkum dari perjalanan
hidup Isaac Newton, dapat coba diterapkan.
Sehingga
kita bisa tetap dapat bekerja dan berkarya dengan sama baiknya atau bahkan
lebih baik dibandingkan saat kita berkerja di kantor.
Mengelola Kreatifitas
Pertama
adalah menumbuhkan dan merealisasikan minat atau hobi yang selama ini belum dicoba
untuk dikembangkan. Syukur jika sejalan dengan profesi atau pekerjaan yang
diemban saat ini. Jika tidak, kita perlu membuat waktu khusus untuk
mewujudkannya. Di tengah situasi global
yang penuh disrupsi dan tantangan berat karena persaingan yang tinggi, seni
untuk mengelola kreatifitas dan menjaga produktifitas tetap menjadi fondasi
utama. Tidak ada yang dapat memberikan jaminan akan pekerjaan atau karier anda di
masa depan. Jadi, tidak salah untuk mencoba dan mengembangkan sesuatu yang baru
dari diri kita.
Selanjutnya
adalah disiplin dalam mewujudkan capaian karya. Pada situasi seperti sekarang,
target harian, mingguan, dan bulanan dapat menjadi alat yang baik untuk
mengontrol kemajuan pelaksanan kerja dan karya seseorang. Tentu tidak mudah
bagi kita dalam menjalankannya. Ini karena selama 120 tahun terakhir (semenjak
revolusi industri) orang terbiasa dengan pola pikir akan bisa produktif jika
berada di kantor. Meski harus tambal sulam atas target yang sudah dirancang,
sikap optimis dan pantang menyerah harus tetap kita kedepankan.
Kiat
yang terakhir adalah tetap menjaga kewarasan dengan berinteraksi bersama orang
lain. Ancaman terbesar dari bekerja di rumah adalah hilangnya ikatan sosial
yang penting dan dibutuhkan dalam menjalin kerja sama yang produktif. Untuk
mengantisipasinya kita dapat memulainya dari keluarga di rumah. Meningkatkan
kualitas kebersamaan bersama keluarga pada saat-saat seperti ini adalah
suplemen terbesar kebahagian kita. Jika selama ini kita telah ‘abai’ dengan
kewajiban kita di rumah, maka pada saat ‘karantina’ ini adalah saat yang paling
tepat untuk memperbaiki segalanya.
Beberapa
tahun lalu, perusahaan Google meneliti kelompok yang paling produktif berkarya
di Google. Hasil terpenting yang didapat adalah untuk bisa membuat seseoran
menjadi begitu produktif adalah justru faktor “keamanan secara psikologis”
(Aulia, 2020). Untuk itu kita harus dapat membangun rasa aman pada diri kita
dengan mendapatkan cinta kasih dari orang terdekat. Sehingga kita
tidak akan merasa kesepian, karena kesepian sesungguhnya membuat
seseorang merasa kurang termotivasi dan kurang produktif.
Isolasi
jangka panjang dapat berdampak pada moral dan
produktivitas. Apalagi jika setiap hari terpapar berita yang mencemaskan.
Namun, tetap berkomunikasi dan berinteraksi aktif dengan orang lain akan
membantu meminimalkan stres dan bosan yang berpotensi memicu depresi. Salah
satu langkah pendukung adalah dengan tetap menjaga jalinan sosial melalui
komunikasi aktif yang saat ini dapat disalurkan melalui teknologi seperti
panggilan video (video call).
Ketika
bekerja dari kantor maupun dari rumah, sentuhan dan pendekatan emosional yang
senantiasa positif adalah hal yang tidak dapat dikesampingkan. Jadi, meski
bekerja dari rumah, kita tetap melakukan upaya terbaik dalam menyelesaikan
tugas dan karya. Inilah yang disebut sebagai Work From Heart (WFH) yang belakangan jadi
tenar. Akhirnya, pelajaran
besar dari kisah Newton mudah-mudahan dapat kita
renungkan, dan bermanfaat. Semoga
negeri ini segera terbebas dari wabah dan kita kembali
beraktifitas seperti sediakala. [*]
No comments:
Post a Comment