Saturday, January 19, 2019

UN, Kejujuran, dan Daya Juang

(Tulisan ini pernah dipublikasikan di HU Pikiran Rakyat 27 Maret 2017)

Pelaksanaan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) 2017 telah selesai digelar. USBN dimaksudkan bukan hanya menilai kemampuan akademik siswa, tetapi juga menakar integritas sekolah dan guru. Pasalnya, pemerintah mengabulkan keinginan guru yang menuntut kewenangan penuh untuk memberikan penilaian kepada siswa. Sehingga tahun ini naskah soal USBN sepenuhnya dibuat oleh Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di tingkat kabupaten/kota. Pemerintah juga memberikan kewenangan penuh kepada sekolah untuk menggandakan soal.

USBN merupakan kebijakan Mendikbud untuk meningkatkan kualitas Ujian Akhir Sekolah (UAS) yang selama ini angka-angkanya penuh inflasi dan kental dengan praktik kecurangan. Kenyataan ini bisa kita lihat dengan jelas dari tingginya rerata nilai rapor dibandingkan dengan hasil Ujian Nasional (UN). Dengan USBN Mendikbud berharap UAS dapat lebih obyektif dan berkualitas. Ide USBN sebagai sebuah kebijakan pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan negeri ini perlu diapresiasi. Namun, kenyataan di lapangan tak seindah apa yang diharapkan. Pada sabtu (18/3), soal-soal USBN yang akan diujikan hari Senin sudah beredar di dunia maya [1]. Sosial media turut membawa soal-soal sampai di gawai siswa. Padahal, sekolah sudah menggandakan bahan dan siap melaksanakannya saja. Sekolah tak mungkin mengganti dengan soal yang baru.



Kebocoran soal-soal tersebut sangat rentan terjadi. Kebocoran bisa bermula dari oknum guru di KKG/MGMP yang bertanggung jawab dalam pembuatan soal, di kepala sekolah/ketua yayasan, dan tempat-tempat penggandaan soal USBN. Kultur ketidakjujuran yang menjadi ‘kanker’ pada tubuh pendidikan negeri ini sesungguhnya merugikan masa depan siswa dan bangsa Indonesia tentunya. Karakter penting yang paling disasar oleh kultur buruk tersebut adalah daya juang. Siswa akan menggampangkan ujian-ujian sekolah yang penting bagi dirinya. Mereka akan berpikir praktis dan nekat mencari jalan pintas agar mendapatkan nilai dengan mudah. Hal tersebut akan melunturkan etos semangat siswa dalam belajar dan berjuang untuk mendapatkan prestasi yang tinggi. Ketika semangat kerja keras, ketahanan, keteguhan dan daya juang siswa telah luntur maka jangan kaget bila negeri ini akan terus melahirkan banyak manusia- manusia yang lemah. Manusia yang tidak hanya merugikan diri mereka sendiri tapi juga masyarakat di sekitarnya.

Sebagai guru yang menyadari arti penting kejujuran dan daya juang, sudah seharusnya kita berkomitmen untuk memberikan teladan yang baik kepada siswa. Guru tidak hanya membangun kapasitas intelektual siswa tetapi juga karakter kejujuran dan kerja keras mereka. Kalau guru dan sekolah sudah tidak bisa lagi diharapkan menjadi perisai terakhir dari ‘kanker’ ketidakjujuran, maka berbagai cara untuk memperbaiki sistem pendidikan dan evaluasinya akan menjadi sia-sia. Hanya sistem evaluasi yang obyektif, mendukung integritas, menghargai ketekunan, dan kerja keraslah yang akan membuat bangsa kita optimis menjadi lebih berdaya.

[1] Kompas, Jumat 24 Maret 2017.

No comments:

Post a Comment