Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Apa kabar anak-anak?
Rasanya seperti baru kemarin bapak menulis surat untuk kalian tentang persiapan UN SMP dan surat tentang menghadapi dunia SMA. Dan sekarang tak terasa sudah UN SMA lagi dan kalian pun akan bersiap untuk menghadapi dunia kuliah.
Nah, alhamdulilah bapak masih diberikan kesempatan untuk menulis. Untuk itulah bapak akan menulis dengan senang hati untuk kalian. insyaAllah. Semoga bermanfaat ya. Tulisan ini bapak beri judul UN, Albert Einsten dan dua Ruang.
Perhelatan Ujian Nasional kini telah membuka tangannya lebar-lebar untuk memeluk kalian. Untuk mendekap kalian. Kalau boleh bapak katakan demikian. Tentu sangatlah disadari, bahwa semua proses belajar selama tiga tahun yang telah dilalui (coba kalian ingat-ingat kembali semua kenangan manis dan pahit saat menjadi putih abu-abu) dipaksa harus memanjat ‘tembok tebal’ tersebut. Guna mencapai sebuah standar yang telah ditentukan oleh pemerintah kita. Mau tidak mau ya, kita harus nurut. Tentu kalian dan orang tua kalian telah mendengar segala desas-desus problematika pelaksanaan UN di negeri kita. Apa pun itu, pada kenyataannya harus tetap kita hadapi. Harus tetap mengisi bulatan jawaban untuk mendapat nilai yang setinggi-tingginya.
Bila boleh bapak berpendapat (didasarkan oleh pengamatan bapak sebagai angkatan kedua kumpulan anak-anak negeri yang diterapkan UN di negeri ini dan sebagai guru tentunya) pelaksanaan UN yang kalian hadapi nanti akan menyisakan dua ruang. Seperti apa yang telah digagaskan oleh Albert Einstein kurang lebih setengah abad silam tentang pencapaian keberhasilan seorang manusia. Ruang untuk menjadi orang yang sukses atau ruang untuk menjadi orang yang bernilai.
Seolah-olah keduanya adalah sama. Sama-sama hal yang diinginkan setiap manusia. Sama-sama hal yang dicintai manusia. Sama-sama didambakan oleh kalian dalam menghadapi UN nanti. Namun, bila kita cermati lebih seksama, tenyata keduanya berbeda dalam hal pemaknaan yang sesungguhnya. Itulah mengapa Einstein berkata, “Try not to become a man of success but rather to become a man of value.” (“Berusahalah bukan untuk menjadi orang sukses, tetapi berusahalah untuk menjadi orang bernilai”). Mengapa? Apa bedanya? Padahal kan keduanya adalah kebaikan, dan kita harus mendapatkan keduanya. Mungkin hal tersebut yang ada di benak kalian saat ini.
Pada dasarnya sah-sah saja bila kita anggap bahwa hal tersebut adalah kebaikan dan kita harus mendapatkan keduanya. Namun dalam pandangan Einstein (dan bapak tentunya), menjadi orang bernilai itu lebih tinggi kedudukannya. Bahkan, ketika kita menjadi orang bernilai, Einstein percaya bahwa kita telah sukses. Tapi bila kita telah sukses (apa lagi hanya menurut kacamata kita) maka belum tentu kita telah menjadi orang yang bernilai. Terus, manakah yang sangat diperlukan negeri ini? Kalian sebagai anak bangsa. Atau tidak usah jauh-jauh saja. Mana yang akan sangat diharapakan kedua orang tua kalian dan guru kalian? Tentulah yang kedua bukan? Sekali mendayung dua tujuan terlampaui. Mungkin begitu pepatahnya.
Nah, tentu kalian perlu mengetahui tentang sukses dan bernilai yang dimaksud di sini apa. Sukses adalah segala apa yang kalian harapkan dan ingin gapai setelah kalian berjuang dengan keras. Nilai yang tinggi, masuk sekolah/kampus favorit, dapat hadiah orang tua, beasiswa atau segala macam yang secara kasat mata mudah untuk diukur. Perlu diketahui bahwa pada umumnya hal-hal tersebut adalah gambaran sukses di masyarakat kita terhadap kalian, anak-anak yang mau UN. Meskipun semua itu nantinya hanya untuk diri-kalian sendiri. Yah, setidaknya orang tua dan kerabat ikut bangga. Hal itulah yang nanti membedakan dengan menjadi ‘orang yang bernilai’.
‘Menjadi orang yang bernilai’ itu berarti kalian berhasil menginspirasi orang lain dalam hal kebaikan. Dihargai orang lain dan bermanfaat bagi manusia sekitar. Setidaknya kalian akan menjadi contoh di lingkungan. Hal tersebut tidaklah mudah. Dan tentunya tidak akan sama dengan hanya menjadi orang sukses. Karena pada umumnya kesuksesan itu dilihat dari hasil, dan terkadang kurang memperhatikan bagaimana prosesnya. Apakah jujur atau tidak. Apakah benilai kebajikan di sisi Allah SWT atau tidak. Menjadi orang yang bernilai memerlukan ruangnya sendiri untuk ada. Tidak hanya nilai-nilai kognitif dan hardskill (Contoh : keterampilan tertentu seperti jago komputer dll) yang diperoleh. Tetapi juga softskill (Contoh : Berani berpendapat, menghargai pendapat orang lain dll) dan nilai-nilai kebaikan di masyarakat (Contoh : kesopanan, kejujuran, ketulusan membantu orang lain dll). Dan itu lah yang bapak yakin dirindukan oleh kita semua. Ingat, bangsa kita sudah jenuh dengan orang-orang pintar nan sukses.
Saat ini kita membutuhkan orang-orang yang bernilai untuk tampil dalam panggung kehidupan. Tampil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yah, minimal tampil menjadi contoh kebaikan di keluarga. Orang yang sukses tercipta itu hanya untuk kepentingan orang itu sendiri saja. Beda bila orang itu telah menjadi bernilai. Karena ia mampu menginspirasi orang lain dan mendorong orang lain untuk lebih baik darinya. Oh, betapa bahagianya orang tua dan guru dari anak tersebut.
Anak-anakku sekalian, jika kita ingin menjadi orang yang bernilai maka semua itu akan bermula dari satu kata: Kejujuran. Dan jika kalian memilih untuk menjunjung tinggi kata ini maka yakinlah ujian akan datang menerpa. Mengapa? Sebab dampak kebaikan dan ganjaran pahala yang diberikan sangatlah besar. Jadi kita harus berusaha meraihnya.
Pada akhirnya Allah SWT maha melihat. Dia akan melihat segala proses yang telah kita perjuangkan. Semua ada imbalannya yang lebih tinggi. Kejujuran, dan bukan yang lain, yang akan menjadi pondasi kita untuk menjadi manusia bernilai. Kini dan nanti. Terakhir dari bapak, membahagiakan orang tua itu wajib, sukes di UN nanti itu harus, dan bersabar dalam kejujuran adalah tindakan yang paling benar.
Ayo, bapak juga sedang belajar untuk menjadi orang bernilai kok. Susah euy!
Bapak percaya kalau kalian bisa. Berdoa pada Allah biar tidak galau.
bapak dan guru-guru lain hanya bisa mendoakan dari sini.
Nah, alhamdulilah bapak masih diberikan kesempatan untuk menulis. Untuk itulah bapak akan menulis dengan senang hati untuk kalian. insyaAllah. Semoga bermanfaat ya. Tulisan ini bapak beri judul UN, Albert Einsten dan dua Ruang.
Perhelatan Ujian Nasional kini telah membuka tangannya lebar-lebar untuk memeluk kalian. Untuk mendekap kalian. Kalau boleh bapak katakan demikian. Tentu sangatlah disadari, bahwa semua proses belajar selama tiga tahun yang telah dilalui (coba kalian ingat-ingat kembali semua kenangan manis dan pahit saat menjadi putih abu-abu) dipaksa harus memanjat ‘tembok tebal’ tersebut. Guna mencapai sebuah standar yang telah ditentukan oleh pemerintah kita. Mau tidak mau ya, kita harus nurut. Tentu kalian dan orang tua kalian telah mendengar segala desas-desus problematika pelaksanaan UN di negeri kita. Apa pun itu, pada kenyataannya harus tetap kita hadapi. Harus tetap mengisi bulatan jawaban untuk mendapat nilai yang setinggi-tingginya.
Bila boleh bapak berpendapat (didasarkan oleh pengamatan bapak sebagai angkatan kedua kumpulan anak-anak negeri yang diterapkan UN di negeri ini dan sebagai guru tentunya) pelaksanaan UN yang kalian hadapi nanti akan menyisakan dua ruang. Seperti apa yang telah digagaskan oleh Albert Einstein kurang lebih setengah abad silam tentang pencapaian keberhasilan seorang manusia. Ruang untuk menjadi orang yang sukses atau ruang untuk menjadi orang yang bernilai.
Seolah-olah keduanya adalah sama. Sama-sama hal yang diinginkan setiap manusia. Sama-sama hal yang dicintai manusia. Sama-sama didambakan oleh kalian dalam menghadapi UN nanti. Namun, bila kita cermati lebih seksama, tenyata keduanya berbeda dalam hal pemaknaan yang sesungguhnya. Itulah mengapa Einstein berkata, “Try not to become a man of success but rather to become a man of value.” (“Berusahalah bukan untuk menjadi orang sukses, tetapi berusahalah untuk menjadi orang bernilai”). Mengapa? Apa bedanya? Padahal kan keduanya adalah kebaikan, dan kita harus mendapatkan keduanya. Mungkin hal tersebut yang ada di benak kalian saat ini.
Pada dasarnya sah-sah saja bila kita anggap bahwa hal tersebut adalah kebaikan dan kita harus mendapatkan keduanya. Namun dalam pandangan Einstein (dan bapak tentunya), menjadi orang bernilai itu lebih tinggi kedudukannya. Bahkan, ketika kita menjadi orang bernilai, Einstein percaya bahwa kita telah sukses. Tapi bila kita telah sukses (apa lagi hanya menurut kacamata kita) maka belum tentu kita telah menjadi orang yang bernilai. Terus, manakah yang sangat diperlukan negeri ini? Kalian sebagai anak bangsa. Atau tidak usah jauh-jauh saja. Mana yang akan sangat diharapakan kedua orang tua kalian dan guru kalian? Tentulah yang kedua bukan? Sekali mendayung dua tujuan terlampaui. Mungkin begitu pepatahnya.
Nah, tentu kalian perlu mengetahui tentang sukses dan bernilai yang dimaksud di sini apa. Sukses adalah segala apa yang kalian harapkan dan ingin gapai setelah kalian berjuang dengan keras. Nilai yang tinggi, masuk sekolah/kampus favorit, dapat hadiah orang tua, beasiswa atau segala macam yang secara kasat mata mudah untuk diukur. Perlu diketahui bahwa pada umumnya hal-hal tersebut adalah gambaran sukses di masyarakat kita terhadap kalian, anak-anak yang mau UN. Meskipun semua itu nantinya hanya untuk diri-kalian sendiri. Yah, setidaknya orang tua dan kerabat ikut bangga. Hal itulah yang nanti membedakan dengan menjadi ‘orang yang bernilai’.
‘Menjadi orang yang bernilai’ itu berarti kalian berhasil menginspirasi orang lain dalam hal kebaikan. Dihargai orang lain dan bermanfaat bagi manusia sekitar. Setidaknya kalian akan menjadi contoh di lingkungan. Hal tersebut tidaklah mudah. Dan tentunya tidak akan sama dengan hanya menjadi orang sukses. Karena pada umumnya kesuksesan itu dilihat dari hasil, dan terkadang kurang memperhatikan bagaimana prosesnya. Apakah jujur atau tidak. Apakah benilai kebajikan di sisi Allah SWT atau tidak. Menjadi orang yang bernilai memerlukan ruangnya sendiri untuk ada. Tidak hanya nilai-nilai kognitif dan hardskill (Contoh : keterampilan tertentu seperti jago komputer dll) yang diperoleh. Tetapi juga softskill (Contoh : Berani berpendapat, menghargai pendapat orang lain dll) dan nilai-nilai kebaikan di masyarakat (Contoh : kesopanan, kejujuran, ketulusan membantu orang lain dll). Dan itu lah yang bapak yakin dirindukan oleh kita semua. Ingat, bangsa kita sudah jenuh dengan orang-orang pintar nan sukses.
Saat ini kita membutuhkan orang-orang yang bernilai untuk tampil dalam panggung kehidupan. Tampil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yah, minimal tampil menjadi contoh kebaikan di keluarga. Orang yang sukses tercipta itu hanya untuk kepentingan orang itu sendiri saja. Beda bila orang itu telah menjadi bernilai. Karena ia mampu menginspirasi orang lain dan mendorong orang lain untuk lebih baik darinya. Oh, betapa bahagianya orang tua dan guru dari anak tersebut.
Anak-anakku sekalian, jika kita ingin menjadi orang yang bernilai maka semua itu akan bermula dari satu kata: Kejujuran. Dan jika kalian memilih untuk menjunjung tinggi kata ini maka yakinlah ujian akan datang menerpa. Mengapa? Sebab dampak kebaikan dan ganjaran pahala yang diberikan sangatlah besar. Jadi kita harus berusaha meraihnya.
Pada akhirnya Allah SWT maha melihat. Dia akan melihat segala proses yang telah kita perjuangkan. Semua ada imbalannya yang lebih tinggi. Kejujuran, dan bukan yang lain, yang akan menjadi pondasi kita untuk menjadi manusia bernilai. Kini dan nanti. Terakhir dari bapak, membahagiakan orang tua itu wajib, sukes di UN nanti itu harus, dan bersabar dalam kejujuran adalah tindakan yang paling benar.
Ayo, bapak juga sedang belajar untuk menjadi orang bernilai kok. Susah euy!
Bapak percaya kalau kalian bisa. Berdoa pada Allah biar tidak galau.
bapak dan guru-guru lain hanya bisa mendoakan dari sini.
Ayo kita Bantai UN Nanti!!!!
Ayo kita keluar sebagai pemenang sejati dari Ujian ini!!!
Sampai ketemu lagi ya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
No comments:
Post a Comment