Monday, December 26, 2011

Profesor di Persimpangan Jalan

Sosok itu sangat kukenal.
Empat tahun sudah aku bersamanya. Dua tahun lebih aku telah meninggalkan kampus. Mencari kehidupan sesungguhnya. Membuktikan dan menjalani sebagian besar nasihat-nasihatnya. Hingga kini.

Pagi itu aku bertemu kembali dengannya.

Menyapanya di persimpangan jalan.

Seorang fisikawan yang dimiliki negeri ini. Namun tak banyak orang awam mengenalnya. Tak banyak pula berita mengenainya. Dalam lingkungan Ilmiah (khususnya dunia fisika) beliau cukup dikenal baik. Banyak pula relasinya. Dari macam orang sipit timur jauh. Jepang. Hinggapara ilmuan tinggi besar ras kaukasoid eropa.

Apa yang akan ku ceritakan dengan ringkas ke depan di tulisan ini adalah bukan tentang perjalanan hidupnya. Bukan pula tentang hubungannya dengan fisika. Bukan, bukan sama sekali.

Aku hanya akan sedikit bercerita tentang sebuah perasaan dalam hati ini. Tak enak rasanya bila tidak dibagi kepada orang lain. Sebab bagiku. Perasaan ini begitu indah.


Aku masih duduk-duduk di pinggir jalan menunggu kawan dengan sepeda motornya. Tentu pagi itu aku hendak berangkat kerja. Ke sekolah lebih tepatnya. Tak beberapa lama sosok itu hadir di hadapanku. Tiga meter kurang lebih jarak kami. Ia berjalan kaki sambil menunduk. Mengenakan rompi dan tas yang biasa ia pakai. Dandanan dan sisiran rambut seperti biasa. Tak berubah semenjak pertama aku mengenalnya.

Apa yang berubah? Aku tak yakin dengan pasti. Rambutnya yang telah banyak memutihkah? Atau keriput yang semakin banyakkah? Secara teori sih iya. Namun aku tak perlu lah memastikan itu.

Ia masih saja berjalan menunduk ketika aku sudah berdiri menunggu di hadapannya. Ia melihat ke arahku. Namun ia langsung kembali menunduk. Mungkin pikir beliau aku adalah orang yang biasa berlalu lalang. Aku tetap berdiri dan memasang senyum. Akhirnya beliau kembali melihat ke arahku. Ia baru menyadari. Bahwa laki-laki yang dari tadi berdiri sambil menyebar senyum hingga mungkin giginya telah mengering adalah salah satu mahasiswanya. Di jurusan fisika.
Ia membalas dengan dengan senyuman sambil berkata “ Oooohh, Kau!” dengan logat batak yang telah tercampur sedikit rasa sunda.

Tak banyak kami berbincang. Karena beliau dikejar waktu untuk mengajar di kampus. Bagiku itu bukan masalah. Namun hingga beberapa detik saat bersamanya aku merasakan desiran rasa bahagia di hati ini. Entah mengapa. Begitu nyaman.
Dan aku masih juga memasang senyum untuknya. Biarlah gigi ini mengering.


Ia kemudian pamit kepadaku untuk mengejar bus yang akan mengantarnya ke kampus.

“ Ya Pak, silahkan” ucapku

Beliau kembali berjalan menunduk menuju tempat berhentinya Bus. Dan aku masih disini. Berdiri dipinggir jalan dan menatap punggungnya dari kejauhan.

Pikiranku kembali melayang saat aku masih duduk di bangku kuliah dahulu. Betapa banyak kata-katanya yang telah menyita perhatianku. Menginspirasiku. Masih ingat di kepala ini bagaimana ia dulu berkata dengan lincah.
Bahwa pantang orang fisika berkata tidak mampu, apabila ditawari sebuah proyek. Orang fisika harus mampu bertanggung jawab. Masalah gagal itu urusan belakangan yang penting kita telah membuat orang lain percaya kepada kita dan berusaha sekuat tenaga.


Dahulu ia dengan tegas dan wajah galak menegurku ketika aku tidak mampu menjelaskan dan membuktikan persamaan model matematika yang aku usulkan pada penelitianku.


“Apa Kau main sulap Okky? Tiba-tiba muncul persamaan itu. Dari mana? Tak boleh itu!!” Aku masih ingat perkataannya.

Perkataan yang telah membuat aku belum layak lulus seperti dua partnerku yang lain. Perkataan yang membuat aku mengurung diri di kosan beberapa minggu untuk mencari jawaban atas pertanyaanya. Pertannyaan yang menyebabkan aku harus menulis ulang skripsiku. Menyebalkan memang. Sangat sedih bahkan.

Apa aku membencinya?


Tidak kawan. Sungguh aku tidak sedang berkata bohong padamu. Justru semenjak itu hingga sekarang aku menyadari bahwa beliau sedang mengajarkan kejujuran dan tanggung jawab kepadaku.

Kejujuran dan tanggung jawab itu tidaklah mudah Bung.

Sungguh ia adalah guru yang telah menginspirasiku.

Bila boleh jujur aku ingin sepertinya. Aku merindukan perjumpaan seperti itu dengan murid-muridku. Ketika aku telah menua nanti. Telah berkurang kemampuan akal ini. Salah seorang muridku menyapaku dengan rasa senang dan bangga seperti yang kurasakan saat itu.

Mungkin saat itu aku telah lupa kebersamaan apa atau pelajaran apa yang telah kuberikan padanya. Aku tak ingat meski sekeras mungkin aku mencoba mengingat. Mungkin juga aku telah lupa namanya. Namun satu hal yang pasti kutahu dari wajah muridku itu. Bahwa ia bahagia bertemu denganku. Ia tunjukkan melalui senyumnya yang tulus.
Dan mencintai ku melalui sepotong ucapan,


“Pak Okky sehat Pak?”


Hanya kepada Allahlah aku berharap dan hanya kepada-Nya kebaikan kami dijadikan tabungan untuk bertemu kembali di Syurga-Nya.



Ditulis di rumah sederhana tempat dahulu berkumpul mimpi-mimpi saat kecil
26 Desember 2011. 09.53





3 comments:

  1. Dosen bapak yang waktu iitu nyidang yah??

    ReplyDelete
  2. Dulu ga terlalu suka fisika. Tapi jurus kira2 dan jurus menebak rumus yang pantes ternyata berhasil dan nilai fisika saya lumayan.

    Salam kenal, Pak Guru.

    ReplyDelete